Lampung, - Aksara Lampung, yang dikenal juga sebagai Had Lampung atau Sukhat Lampung, adalah salah satu warisan budaya yang kaya dari Provinsi Lampung. Memiliki akar dari Aksara Pallawa dari India Selatan, aksara ini menunjukkan kekerabatan dengan aksara Rencong, Rejang Bengkulu, Sunda, dan Lontara. Sejak dahulu, aksara ini digunakan untuk menulis mantra, surat, hukum tradisional, karya keagamaan, dan puisi pada berbagai media seperti kulit kayu, daun palem, lempengan logam, kulit binatang, tanduk, batu, dan bambu.
Seiring waktu, Aksara Lampung mengalami perkembangan dari bentuk kuno yang kompleks menjadi lebih sederhana seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah saat ini. Terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda, dan gugus konsonan, aksara ini ditulis dari kiri ke kanan. Huruf induk atau "Kelabai Sukhat" berjumlah 20, termasuk Ka, Ga, Nga, Pa, Ba, Ma, Ta, Da, Na, Ca, Ja, Nya, Ya, A, La, Ra, Sa, Wa, Ha, dan Gha/Kha.
Dalam sistem Abugida, setiap konsonan memiliki vokal inheren yang dapat diubah dengan diakritik yang muncul di atas, di bawah, sebelum, atau setelah huruf konsonan. Selain itu, Aksara Lampung memiliki tanda baca sendiri seperti tanda mula, koma, titik, tanya, seru, penghubung, atau, kutip, titik dua, tanda kurung, dan penulisan angka tersendiri.
Aksara Lampung tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga bagian integral dari identitas budaya masyarakat Lampung. Sejak abad ke-7 Masehi, aksara ini digunakan dalam berbagai kegiatan sehari-hari hingga pertengahan abad ke-20. Namun, dengan datangnya kolonial Belanda, penggunaan aksara ini menurun seiring dengan penyebaran huruf Latin.
Pada era modern, meski masih diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal, penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Upaya pelestarian terus dilakukan sejak 1980-an, termasuk pengakuan resmi dari pemerintah pada 2013.
Aksara Lampung memiliki ciri khas dengan 26 huruf dasar yang disebut “Buah Kepundan”, sistem penulisan dari kiri ke kanan tanpa spasi, dan keunikan bentuk huruf yang berasal dari alam sekitar. Penggunaan awalnya untuk keperluan magis dan keagamaan, namun kemudian meluas ke puisi, hikayat, dan karya sastra lainnya.
Meskipun sistem penulisan ini telah mengalami penurunan drastis dalam penggunaan, generasi muda diharapkan dapat terus mengenal dan mempelajari Aksara Lampung sebagai bagian dari warisan kebudayaan yang berharga. Melalui pendidikan dan upaya pelestarian, diharapkan Aksara Lampung tetap hidup dan menjadi identitas budaya yang dibanggakan oleh masyarakat Lampung.