Tradisi dalam Bayang-Bayang Modernisasi: Mengapa Generasi Muda Lampung Kian Asing dengan Adatnya !

Provinsi Lampung dikenal sebagai daerah dengan kekayaan adat dan budaya yang beragam. Dua sistem adat besar yang menjadi penanda identitas masyarakat Lampung adalah Pepadun dan Saibatin. Keduanya bukan sekadar struktur sosial, melainkan cerminan filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun oleh para leluhur.

Pepadun, yang banyak dianut masyarakat di wilayah Lampung Tengah, Lampung Utara, dan Way Kanan, dikenal dengan karakter egaliter dan demokratis. Gelar adat dalam sistem ini diperoleh melalui proses musyawarah dan upacara adat Begawi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Sementara itu, Saibatin, yang banyak berkembang di wilayah pesisir seperti Lampung Selatan, Pesawaran, dan Pesisir Barat, bersifat lebih aristokratis dengan sistem pewarisan gelar secara turun-temurun dari garis keturunan bangsawan.

Namun di balik kemegahan simbol-simbol adat tersebut, nilai-nilai asli budaya Lampung saat ini menghadapi tantangan serius. Generasi muda Lampung kini lebih akrab dengan tren TikTok, budaya populer luar daerah, dan gaya hidup modern ketimbang memahami filosofi hidup adat Lampung yang sarat makna. Nilai-nilai luhur seperti piil pesenggiri (harga diri dan kehormatan), nemui nyimah (ramah tamah), nengah nyappur (bergaul), hingga sakai sambayan (gotong royong) mulai kehilangan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa Lampung, baik dialek Api maupun Nyo, kini semakin asing di telinga generasi muda. Bahkan di beberapa desa yang dahulu dikenal sebagai kantong-kantong budaya, penggunaan bahasa daerah ini mulai pudar. Padahal, bahasa adalah elemen paling mendasar dalam menjaga keberlangsungan sebuah budaya.

Tidak bisa dipungkiri, masih ada komunitas masyarakat Lampung yang berpegang teguh pada tradisi. Di wilayah-wilayah pedalaman seperti Lampung Barat, Pesisir Barat, dan beberapa kampung adat di Way Kanan, upacara adat dan nilai gotong royong tetap menjadi bagian penting dari kehidupan sosial. Proses begawi, pemberian gelar Pepadun, hingga penghormatan terhadap garis keturunan dalam sistem Saibatin masih dijalankan dengan penuh kesadaran.

Namun, di kawasan perkotaan seperti Bandar Lampung, Metro, serta di daerah-daerah transmigran seperti Tulang Bawang dan Lampung Timur, adat istiadat itu perlahan terkikis oleh arus urbanisasi dan modernisasi. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi nasional tanpa muatan lokal yang kuat, serta minimnya regulasi yang mewajibkan pelestarian budaya daerah, turut mempercepat proses pelupaan ini.

Pemerintah Provinsi Lampung memang rutin menggelar festival budaya, perayaan Hari Jadi Lampung, hingga parade pakaian adat. Sayangnya, banyak pihak menilai semua itu belum cukup menyentuh akar persoalan. Tanpa program nyata di tingkat pendidikan, pemberdayaan komunitas adat di akar rumput, serta dukungan anggaran dan regulasi yang konsisten, budaya Lampung terancam tinggal menjadi kostum seremonial belaka.

Kini saatnya semua pihak — pemerintah, tokoh adat, akademisi, hingga masyarakat sipil — mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa Pepadun dan Saibatin tetap hidup sebagai identitas sosial yang membumi, bukan hanya menjadi ornamen di balik panggung perayaan seremonial.
Lebih baru Lebih lama

Editor : Havid Nurmanto

نموذج الاتصال