LAMPUNG - Pada 10 November 2025, tepat di Hari Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Keputusan ini bukan hanya penghinaan terhadap sejarah dan luka bangsa, tetapi juga merupakan bentuk pelapisan ulang narasi kekuasaan yang berbahaya, sebuah upaya sistematis untuk memutihkan sejarah kediktatoran dan menormalisasi kembali kekuasaan yang berdiri di atas darah rakyat. Di saat rakyat masih berjuang untuk menegakkan keadilan dan demokrasi, negara justru mengabadikan sosok yang menjadi simbol represi dan pelanggaran HAM sebagai pahlawan.
Soeharto bukanlah figur yang layak dimuliakan. Selama lebih dari tiga dekade, ia berkuasa dengan tangan besi melalui rezim Orde Baru, sebuah sistem kekuasaan yang dibangun di atas pembunuhan massal, pembungkaman, dan ketakutan. Sejak kudeta militer yang ia pimpin pada 1965, ratusan ribu bahkan jutaan rakyat ditangkap, disiksa, dan dibunuh hanya karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia atau karena berpandangan berbeda dengan kekuasaan. Pembantaian 1965–1966 menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah bangsa, namun hingga hari ini negara tidak pernah menuntaskan keadilan bagi para korban.
Kekerasan negara di bawah Soeharto terus berulang. Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989 menjadi simbol betapa kekuasaan Orde Baru menggunakan darah rakyat untuk mempertahankan stabilitas semu. Di Timor Timur, Papua, dan Aceh, ribuan rakyat sipil menjadi korban operasi militer yang brutal. Sementara di penghujung kekuasaannya, rezim Soeharto menculik, menyiksa, dan menghilangkan para aktivis pro-demokrasi yang berani menentang kediktatorannya dan banyak di antara mereka belum pernah ditemukan hingga hari ini.
Soeharto juga meninggalkan warisan kelam berupa sistem korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjerat sendi-sendi negara. Ekonomi dijadikan alat akumulasi kapital bagi kroni dan keluarga, sementara rakyat dibiarkan tenggelam dalam kemiskinan dan ketimpangan. Demokrasi dikerdilkan menjadi formalitas, kebebasan pers dan organisasi rakyat dibungkam, dan negara dijalankan dengan logika militeristik. Seluruh aspek kekuasaan diatur untuk melanggengkan status quo, bukan untuk membebaskan rakyat.
Menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada figur seperti Soeharto adalah penghinaan terhadap nurani bangsa dan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi. Ia bukan pahlawan, melainkan arsitek kediktatoran, penjagal demokrasi, dan perampas hak-hak rakyat. Keputusan ini menunjukkan bagaimana kekuasaan hari ini berupaya menghapus ingatan kolektif rakyat atas kejahatan masa lalu, dan sekaligus menandakan kembalinya semangat Orde Baru dalam wajah kekuasaan yang baru.
Dalam pandangan Jose Romual, Ketua Ekom-LMND Universitas Lampung, keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari arah politik pemerintahan hari ini yang secara ideologis semakin condong ke arah restorasi Orde Baru.
“Ini bukan sekadar pemberian gelar, ini adalah proyek ideologis untuk menormalisasi kejahatan negara. Prabowo, yang merupakan bagian dari struktur militer Orde Baru, kini menggunakan kekuasaan untuk menghapus jejak gelap sejarah dan membangun kembali legitimasi atas rezim yang pernah menindas rakyat. Kita harus menyadari bahwa pelupaan sejarah adalah bentuk baru dari represi,” ujar Jose Romual.
Sikap ini menjadi peringatan bagi seluruh mahasiswa dan rakyat agar tidak terlena oleh narasi pahlawan palsu yang disusun oleh penguasa. Dalam konteks perjuangan rakyat, pahlawan sejati bukanlah mereka yang menguasai rakyat, tetapi mereka yang berjuang bersama rakyat. Pahlawan adalah mereka yang menolak tunduk pada penindasan dan membela kebenaran meski harus berhadapan dengan kekuasaan.
Menanggapi situasi ini, Jane Elizabeth, Koordinator Aksi Kolektif Mahasiswa Lampung, menegaskan bahwa mahasiswa tidak boleh diam menghadapi distorsi sejarah semacam ini.
“Kita tidak akan membiarkan negara mengubur kebenaran dengan propaganda. Mahasiswa harus berdiri di garda depan, menjaga ingatan kolektif dan melawan politik pelupaan. Soeharto tidak akan pernah menjadi pahlawan di mata rakyat. Ia adalah simbol kejahatan negara yang harus diadili oleh sejarah, bukan dihormati oleh bangsa,” tegas Jane Elizabeth.
Atas dasar itu, Ekom-LMND Universitas Lampung bersama Serikat Mahasiswa Indonesia dan seluruh elemen yang tergabung menyatakan akan menggelar aksi massa dan diskusi terbuka di DPRD Lampung sebagai bentuk perlawanan politik dan ideologis terhadap keputusan ini. Gerakan ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan tindakan sadar dari generasi muda untuk mempertahankan kebenaran sejarah dan memperjuangkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang hingga kini diabaikan negara.
Ekom-LMND Universitas Lampung menyerukan kepada seluruh elemen mahasiswa, organisasi rakyat, dan masyarakat luas untuk bersatu dalam menuntut pencabutan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto. Ini adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan membela keadilan sejarah, karena bangsa yang melupakan sejarah kejahatannya adalah bangsa yang membuka jalan bagi lahirnya tirani baru.
Kami percaya bahwa sejarah tidak boleh dikubur oleh propaganda negara. Selama masih ada mahasiswa yang berpikir kritis dan rakyat yang menolak tunduk, maka kekuasaan tidak akan mampu menghapus kenyataan bahwa Soeharto adalah diktator, bukan pahlawan. Perlawanan terhadap politik pelupaan adalah bagian dari perjuangan panjang menuju Indonesia yang benar-benar demokratis, berdaulat, dan berkeadilan sosial (elf)
Tags
Lampung