Tren S Line: Sekadar Guyonan atau Cermin Kedangkalan Moral Kita?

Fenomena dunia maya kembali menguji nalar publik. Setelah muncul tren-tren sebelumnya yang memancing kontroversi, kini giliran S Line menyita perhatian. Tren yang berawal dari serial drama Korea terbaru itu membuat banyak warganet berlomba-lomba menyunting foto atau video dengan garis merah di atas kepala mereka — simbol yang dalam cerita menunjukkan seseorang pernah berhubungan intim.

Sebagian kalangan menganggap ini sekadar lucu-lucuan. “Cuma iseng, biar seru-seruan aja,” komentar salah satu pengguna TikTok dalam unggahan yang sudah ditonton jutaan kali. Namun, sebagai penulis yang mengamati geliat media sosial sejak lama, saya melihat ini bukan sekadar tren polos. Ini adalah cermin — yang memantulkan kedangkalan moral kita di era digital.

Mari kita luruskan dulu: tak ada yang salah dengan bercanda. Humor adalah bagian penting dari kehidupan. Tetapi bercanda yang menyinggung kehormatan, apalagi dengan konotasi seksual yang vulgar, sudah seharusnya dipertanyakan. Apalagi jika dilakukan di ruang publik yang juga diakses anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pencarian jati diri.

Saya prihatin melihat bagaimana banyak perempuan yang jadi sasaran bullying setelah ikut tren ini. Sebutan seperti “gampangan” atau “murahan” kembali mengemuka, seolah-olah tren ini memberikan lampu hijau untuk merendahkan martabat orang lain. Di sisi lain, mereka yang melakukannya juga seringkali abai pada nilai-nilai kesopanan yang kita pegang sebagai masyarakat dengan budaya timur dan mayoritas muslim.

Bagaimana bisa kita merasa bangga memperlihatkan diri dengan tanda-tanda aib? Bagaimana bisa kita menghibur diri dengan menertawakan isu yang seharusnya disikapi dengan hormat dan bijak?

Sebagai bangsa yang selama ini mengagungkan norma dan nilai moral, seharusnya kita lebih bijaksana menggunakan media sosial. Apa yang kita unggah bukan hanya tentang diri kita, tapi juga menjadi cerminan pendidikan, lingkungan, dan nilai-nilai yang kita bawa.

Tren S Line bisa jadi hanya akan berlalu seperti tren-tren lainnya. Tapi luka moral yang ditinggalkan bisa menetap. Anak-anak yang melihat, mungkin menganggap ini normal. Orang-orang yang terkena stigma, mungkin menyimpan sakit hati lebih lama. Dan kita sebagai masyarakat, mungkin tak sadar bahwa sedikit demi sedikit, batas-batas kesopanan itu terus bergeser.

Di sinilah saya merasa perlu mengingatkan: tidak semua yang sedang tren layak diikuti. Tidak semua yang lucu baik untuk dipamerkan. Kadang, yang kita anggap sepele justru menunjukkan kualitas kita yang sebenarnya.

Media sosial memang tempat untuk mengekspresikan diri. Tapi mari tetap gunakan akal sehat dan nurani. Jangan sampai kelucuan sesaat menjadi kedunguan yang memalukan di kemudian hari.
Lebih baru Lebih lama

Editor : Havid Nurmanto

نموذج الاتصال