Lampung — Saya tidak habis pikir, mengapa kita begitu cepat melupakan sesuatu yang menjadi identitas kita sendiri. Seni tradisi lisan Lampung, dengan lebih dari 30 ragam yang kaya makna, perlahan tenggelam di tengah riuhnya musik TikTok, jargon media sosial, dan kebanggaan palsu akan “kekinian”. Sungguh ironis, karena yang melupakan warisan ini bukan orang lain, melainkan kita sendiri — masyarakat Lampung.
Seperti diungkapkan budayawan Hafizi Hasan dalam diskusi “Ragam Sastra Lampung” di Chriza Art Gallery Jung Foundation (25/11), dan dikutip Lampung Post (27/11/2007), masyarakat Lampung kini justru malu menggunakan bahasa daerahnya. Anak muda lebih memilih berbicara dengan bahasa Indonesia, bahkan campuran bahasa asing, demi terlihat modern. Akibatnya, sastra lisan yang dahulu hidup di mulut kakek-nenek kita, kini hanya tinggal di kepala segelintir orang.
Masalahnya juga bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga pada kebijakan pendidikan yang setengah hati. Sejak 1980-an, muatan lokal bahasa Lampung memang diajarkan di sekolah, tetapi hanya sebatas aksara. Anak-anak belajar menulis huruf-huruf Lampung, tetapi tidak diajari cara berbicara, apalagi meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra lisan seperti pisaan, muayak, ringget, atau wawancan. Tak heran, anak-anak hanya kenal hurufnya tetapi tetap berbicara dengan bahasa Indonesia — bahkan di rumah.
Lebih miris lagi, dari puluhan jenis seni tradisi lisan Lampung, baru empat yang sedikit dikenal. Selebihnya seperti tetangguh, pepancoh, bubandung, dadi, kherasul, hahiwang, pardeni, atau ngegalung, nyaris tidak terdengar lagi. Bahkan Hafizi mengakui, untuk dialek api hanya dirinya yang masih mensosialisasikan kepada masyarakat, dan untuk dialek nyow atau o hanya tersisa tiga tokoh saja.
Saya bertanya-tanya, sampai kapan kita terus pura-pura tidak peduli? Seni tradisi lisan ini bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan cermin siapa kita. Mengapa kita begitu mudah melafalkan lirik-lirik lagu barat atau jargon-jargon asing, tetapi malu menyebut kata “kitapun” untuk memulai sebuah pisaan?
Mungkin sudah waktunya kita berhenti mencari siapa yang salah, dan mulai bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita memberi ruang bagi seni tradisi ini untuk tetap hidup? Pemerintah, lembaga adat, sekolah, bahkan keluarga, semuanya punya tanggung jawab yang sama besar. Bukan lagi cukup dengan festival setahun sekali atau seremonial adat yang hanya jadi tontonan turis. Kita butuh kebijakan pendidikan yang serius, dokumentasi yang masif, dan ruang bagi anak muda untuk merasa bangga dengan budayanya sendiri.
Kalau kita terus diam, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika kelak warisan ini hanya tinggal di buku arsip, disalin dalam skripsi, atau direkam dalam museum yang sepi pengunjung.
Seni tradisi lisan Lampung adalah suara leluhur kita. Dan suara itu akan terus melemah jika kita sendiri memilih untuk menutup telinga.
Tags
Opini