Malang, 9 Oktober 2025 — Perseteruan antara Yai Mim dan Sahara yang bermula dari sengketa jalan di kawasan Perumahan Joyogrand, Malang, berubah menjadi fenomena nasional setelah perdebatan keduanya viral di media sosial. Kasus ini bukan sekadar persoalan warga, melainkan cerminan bagaimana kekuatan informasi di dunia digital mampu membentuk persepsi publik dengan cepat dan luas.
Konflik bermula ketika Sahara, seorang warga perumahan, mengunggah video yang menampilkan adu mulut dengan Muhammad Imam Muslimin atau Yai Mim, seorang tokoh agama sekaligus akademisi di Malang. Dalam unggahan tersebut, Sahara menuding Yai Mim menutup akses jalan umum dan menggunakan lahan wakaf untuk kepentingan pribadi.
Video berdurasi pendek itu dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, terutama TikTok dan Instagram, memicu ribuan komentar serta perdebatan panas. Publik yang awalnya tidak mengetahui konteks persoalan kemudian terbagi dua: sebagian membela Sahara sebagai warga kecil yang berani melawan ketidakadilan, sementara sebagian lainnya menilai Yai Mim telah diframing secara tidak adil oleh media sosial.
Kekuatan informasi tampak begitu dominan dalam kasus ini. Sahara yang pertama kali menyebarkan narasi, berhasil menciptakan persepsi awal di masyarakat. Narasi “warga melawan kekuasaan” menjadi daya tarik tersendiri di dunia maya.
Sementara klarifikasi Yai Mim baru muncul beberapa hari kemudian melalui video dan pernyataan resmi. Ia menegaskan bahwa lahan yang dipermasalahkan merupakan tanah wakaf dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi. Namun, penjelasan itu datang terlambat. Narasi awal sudah telanjur menyebar, dan publik terlanjur mengambil sikap.
Pakar komunikasi publik menilai, dalam kasus seperti ini, kecepatan informasi lebih menentukan dibanding keakuratan fakta. Siapa yang lebih dulu menguasai ruang digital, dialah yang membentuk opini publik.
Situasi kian panas setelah kedua belah pihak saling melapor ke kepolisian. Kuasa hukum Sahara membuka peluang damai, sementara Yai Mim tetap menempuh jalur hukum untuk meluruskan tudingan yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Lembaga Bantuan Hukum GP Ansor Kota Malang turut menyatakan siap mendampingi Sahara secara sukarela, menganggap kasus ini menyangkut hak warga dan isu kekerasan terhadap perempuan.
Di sisi lain, sejumlah tokoh publik juga ikut berkomentar, bahkan ada yang menyindir bahwa “keadilan kini ditentukan oleh siapa yang lebih dulu viral.” Hal ini menegaskan bahwa ruang digital telah menjadi arena baru dalam membentuk persepsi keadilan sosial.
Kasus ini menunjukkan bahwa dalam era digital, kekuatan informasi dapat menggeser peran lembaga formal dalam membentuk kebenaran.
Klarifikasi dan fakta hukum sering kali kalah cepat dibandingkan viralitas video berdurasi 30 detik. Dalam kasus Yai Mim dan Sahara, publik bukan hanya menyaksikan perseteruan dua pihak, tetapi juga bagaimana informasi menjadi senjata paling kuat — membangun simpati, menjatuhkan reputasi, sekaligus mengaburkan batas antara fakta dan opini.
Tags
Nasional