Bandar Lampung — Anjloknya harga singkong di Lampung bukan sekadar gejala pasar, melainkan cermin dari kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap petani. Di tengah peran strategis petani sebagai penjaga kedaulatan pangan nasional, harga beli singkong yang tidak menentu bahkan lebih rendah dari biaya produksi, menunjukkan bahwa nasib petani telah dikorbankan demi kepentingan pasar yang dikuasai oleh oligarki.
LMND Unila percaya, dari kampus yang kritis, lahir keberanian untuk membela sawah-sawah yang sedang ditindas. Ketika petani tak lagi mendapat tempat di negerinya sendiri, mahasiswa tidak boleh tinggal diam. Diam adalah pengkhianatan.
Data dari KPPU tahun 2024 mengungkapkan adanya impor besar-besaran tepung tapioka oleh empat perusahaan di Lampung, dengan 80% volume impor dikuasai oleh satu kelompok usaha. Tindakan ini tak hanya melanggar prinsip keadilan ekonomi, namun juga terindikasi melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik curang dalam persaingan usaha.
Terlebih, dugaan manipulasi kode HS untuk menghindari pengawasan dan tarif menunjukkan adanya skema yang disengaja demi keuntungan segelintir elit. Akibatnya, perusahaan mengabaikan hasil tani lokal, menyebabkan overproduksi tanpa jaminan pasar, dan menjatuhkan harga singkong hingga di bawah Rp1.000/kg.
Kondisi ini mempertegas jurang ketimpangan antara petani dan korporasi. Petani dipaksa menjual hasil panen dengan harga murah, sementara perusahaan leluasa mengatur pasar lewat kebijakan impor. Jika dibiarkan, petani akan meninggalkan singkong sebagai komoditas pertanian, dan Indonesia akan semakin bergantung pada produk impor. Ini adalah ancaman langsung terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan nasional.
Kebijakan impor yang bertolak belakang dengan pernyataan resmi Satgas Pangan Polri yang menyatakan bahwa impor hanya diperbolehkan bila produksi nasional tak mencukupi, membuktikan bahwa pemerintah telah gagal menjalankan fungsi pengawasan. Impor tepung tapioka di masa panen raya di Lampung sebagai sentra produksi singkong nasional, merupakan pengabaian terhadap petani lokal dan pelecehan terhadap prinsip keadilan distribusi pangan.
Dalam situasi seperti ini, negara tak boleh lagi berdiam diri. Eksekutif Komisariat LMND Unila mendesak Presiden Republik Indonesia untuk turun langsung ke Lampung dan mendengar jeritan petani. Pemerintah pusat harus mengambil sikap politik yang jelas dengan tidak menyerahkan nasib pangan rakyat kepada mekanisme pasar dan investasi rakus.
Di tingkat daerah, kami menyerukan kepada Gubernur Lampung untuk segera mengesahkan regulasi tegas yang mewajibkan perusahaan membeli singkong petani minimal seharga Rp1.350/kg dengan rafaksi maksimal 15%, sebagaimana telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian. Kebijakan ini harus dibarengi sanksi yang tegas, hingga pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang melanggar. Hanya dengan keberpihakan nyata dari pemerintah daerah, kesejahteraan petani singkong dapat dipulihkan.
Apabila negara tetap bersikap abai, maka tindakan politik dari rakyat adalah keniscayaan. Petani yang terus dirugikan memiliki hak moral untuk mengambil sikap tegas, termasuk menolak membayar pajak kepada negara yang tak mampu melindungi mereka.
LMND Unila mendukung penuh upaya DPRD Provinsi Lampung dan Gubernur dalam mendorong penetapan harga dan mutu singkong secara nasional sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang eksploitatif.
“Ketika negara memilih diam di tengah penderitaan petani, maka mahasiswa tidak boleh ikut bungkam. LMND Unila berdiri bersama petani sebagai garda terdepan dalam perjuangan melawan dominasi pasar yang merampas hak-hak rakyat atas pangan dan keadilan,” tegas Samsara Leon, Ketua Eksekutif Komisariat LMND Unila.
Kami mengingatkan bahwa diamnya petani bukan berarti pasrah. Kami siap turun ke jalan dalam aksi rakyat yang akan digelar pada Senin, 5 Mei 2025, sebagai bentuk perlawanan terbuka terhadap ketidakadilan dalam tata niaga singkong. Aksi ini adalah seruan solidaritas mahasiswa bersama rakyat, demi menuntut keadilan ekonomi dan membongkar hegemoni pasar yang menindas petani.
Tags
Lampung